Rabu, 17 Februari 2016

Wisata Alam Puncak Gagoan Paninggahan

Puncak gagoan
Puncak sandiang gagoan atau yang lebih di kenal dengan nama puncak gagoan adalah sebuah bukit berbatu yang terletak di desa paninggahan kecamatan junjung sirih kabupaten solok.

Puncak gagoan memiliki pemandangan alam yang begitu indah jika kita berada di atas puncaknya, dengan bukit batu yang tinggi dan curam menjadikan puncak gagoan masuk ke dalam daftar tempat tujuan berburu foto bagi kamu pecinta selfi.

Selain itu puncak gagoan juga cocok bagi kamu yang ingin menikmati alam dengan berjalan kaki ( hiking ).

Puncak gagoan ini di apit oleh dua bukit yang di batasi langsung dengan sungai dengan air yang sangat jernih, air sungai ini juga di manfaatkan oleh pemerintah untuk di alirkan ke rumah – rumah warga serta untuk kebutuhan lainnya, jadi kamu jangan heran jika ada banyak pipa PDAM yang berada di dekat puncak gagoan.

Mungkin ada teman-teman yang bertanya kenapa tempat ini di namakan puncak sandiang gagoan?

Gagoan berasal dari suku kata dalam bahasa minangkabau yaitu gagau yang berarti gamang ( Takut akan jatuh ), gugup, ragu, perasaan takut jatuh ketika berdiri di atas puncak ini ketika melihat kebawah yang sangat curam. Sedangkan Sandiang yang artinya di tepi, sudut, pinggir

Puncak Gagoan Paninggahan
Dok. Puncak Sandiang Gagoan Paninggahan


Oleh sebab itu warga sekitar memberikan nama bukit tersebut dengan nama puncak sandiang gagoan tapi bagi pengunjung yang datang kesini entah kenapa lebih akrab dengan nama puncak gagoan mungkin karena lebih mudah di ingat kali ya..

Dok.Puncak Sandiang Gagoan Paninggahan

Di puncak ini biasanya akan rame pada hari sabtu dan minggu disini kamu bisa mencari spot terbaik untuk hunting foto, banyak spot bagus untuk hunting foto di sekitar area puncak gagoan tapi perlu di ingat utamakan keselamatan jika berada di tempat ini karena ada beberapa batu yang telah di beri tanda silang merah oleh warga sekitar karena di anggap berbahaya.

Selain itu di puncak gagoan ini kamu bisa menikmati hembusan angin yang cukup kencang, alami dan segar yang jarang sekali kamu rasakan jika tinggal di kota-kota besar yang udaranya tercemar dengan polusi asap kendaraan maupun asap-asap pabrik.

puncak gagoan
Dok. Puncak Sandiang Gagoan Paninggahan

Karena memiliki hembusan angin yang cukup kencang mungkin saja tempat ini nantinya bisa di jadikan spot terbaik untuk olahraga pralayang baik nasional maupun internasional jika pemerintah mau memperhatikan potensi wisata yang masih jarang di ketahui ini.

Diatas puncak ini juga sudah ada beberapa warung yang menjajakan makanan berupa snack maupun minuman atau bagi kamu yang ingin bersantai sambil ngopi dengan melihat pemandangan danau singkarak dari atas sini juga asyik juga loh.., dan ingat jangan buang sampah sembarangan ya sobat karena pencita alam sejati itu menjaga alam bukan ngerusak alam.

puncak gagoan
Dok. Puncak Sandiang Gagoan Paninggahan

Untuk mencapai lokasi wisata puncak gagoan ini dari pusat kota solok berjarak sekitar 20 km dapat di lalui dan di tempuh dengan mengunakan kendaraan roda 4 maupun roda 2. namun harus berhati-hati karena jalur yang di lalui lumayan sempit dan cukup untuk satu mobil saja.

Dari kota Bukittinggi atau Padang Panjang berjarak sekitar 25 km, dengan melewati jalur arah ke Malalo dan terus menuju ke Paninggahan.

Sedangkan dari kota Solok atau dari Padang jalurnya arah menuju danau Singkarak, setiba di pasar Sumani sebelum jembatan jalur yang kita lewati masuk kedalam simpang melewati daerah Saning bakarMuaro pingaiPaninggahan.

Setibanya di pasar paninggahan dekat dengan tugu masuk ke simpang sebelah kiri disana sudah di beri tanda spanduk untuk mempermudah pengunjung untuk menemukan lokasi puncak gagoan
Waktu terbaik untuk berkunjung ke puncak gagoan ini ketika cuaca pada saat itu cerah, jika cuaca tidak cerah atau berkabut sebaiknya berkunjung ke puncak gagoan ini kamu tunda dulu, karena kamu tidak akan bisa menikmati pemandangan puncak gagoan secara maximal dengan kondisi cuaca berkabut, jadi carilah waktu yang benar-benar tepat ya sobat.

Sumber: http://aet.co.id/pariwisata/puncak-gagoan-paninggahan

Selasa, 16 Februari 2016

Obyek Wisata Puncak Lawang Sumbar

Puncak Lawang Danau Maninjau

PDF Cetak E-mail
Puncak Lawang Danau Maninjau
Andaikan masalah SARS tidak pernah ada, seribu penduduk yang berada di sekitar danau Maninjau tentu telah menyaksikan 26 penerbang paralayang beraksi di langit biru. Ke-26 penerbang itu terdiri atas 13 atlet paralayang dari mancanegara dan 13 dari dalam negeri. Sayang, penyakit menakutkan itu membuat banyak perusahaan penerbangan mengurangi operasinya hingga 50 persen. Maka, yang berhasil datang ke danau Maninjau di bagian perut Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat ini hanya delapan atlet mancanegara yang datang. Selain itu, enam penerbang dari Agam dan tujuh dari Jakarta juga hadir untuk memenuhi undangan.

Hari Minggu, sejak pukul sembilan pagi, ke-21 penerbang paralayang ini berkumpul di Puncak Lawang, nama lokasi di ubun-ubun tertinggi pegunungan di sisi timur danau. Masing-masing membawa ransel punggung seberat 15 kilogram berisi payung terjun. Angin pagi semilir menyejukkan badan. Kecepatannya diukur, baru mencapai 5 hingga 7 kilometer per jam. Untuk terbang, diperlukan kecepatan angin minimal 10 kilometer per jam. Penerbangan paralayang yang ideal mesti didukung kecepatan angin antara 10—23 kilometer. Artinya, kalau lebih sudah tidak nyaman lagi, walaupun tak perlu dikatakan berbahaya.

Puncak Lawang Danau Maninjau Pukul 11 satu demi satu penerbang yang disebut pilot di dunia paralayang, mulai terbang. Bersiap di bibir jurang yang rimbun berhiaskan hutan ringan. Satu-dua orang membantu memegangi bagian parasut di arah belakangnya. Satu-dua menit kemudian…. hushhh…. parasut berbentuk payung memanjang terisi udara dari tiupan angin mengapung. Sang pilot berlari kecil dan tampak melayang bergantung di temali paraglider-nya. Ada yang langsung berposisi duduk. Penonton bertepuk gembira.

Danau Maninjau sudah sejak lama terkenal akan alamnya yang sangat indah. Pada ketinggian sekitar 900 meter di atas permukaan laut, pilot bergayut-gayut. Adanya bibir jurang yang panjang, juga rimbun, memberikan tempat yang nyaman bagi masyarakat untuk menikmati atraksi para pilot.

Seperti menikmati kekaguman penonton, para pilot ini bolak-balik, dari sebelah kiri ke ujung sebelah kanan, sambil menunjukkan kepiawaian terbang meliuk-liuk, sesekali mendekat hingga jarak 10—15 meter dari deretan penonton.
Di latar belakang pemandangan ke arah bawah, terhamparlah wajah tenang Danau Maninjau. Pemandangan serba hijau segar, dengan langit biru cerah, udara terasa membersihkan paru-paru.

Pilot paralayang menikmati hobi mereka yang bagi masyarakat di sana menjadi hiburan yang menyenangkan. Wisatawan yang biasanya hanya menikmati keindahan danau kini disuguhi atraksi yang menarik. Maka, tak heran jika jumlah pengunjung yang datang lebih dari biasanya.

Puncak Lawang Danau Maninjau Ajang paralayang itu adalah yang ketiga kalinya diselenggarakan oleh Pemda Kabupaten Agam. Acara ini menyatu dengan Festival Rakyat dan diselenggarakan selama tujuh hari berturut-turut. Jadi, setiap hari selama seminggu ini di Puncak Lawang, dan nun di bawah sana di tepi Danau Maninjau—namanya Rizal Beach—terletak padang tempat paralayang mendarat, berlangsung kegiatan pariwisata.

Sementara di udara para penerbang beraksi melayang membuat decak kagum bagi penonton, di darat ada suguhan kesenian tradisional masyarakat. Anda akan menyaksikan kesenian rakyat Anak Nagari. Dua hari menjelang penutupan event, dimanfaatkanlah danau itu dengan menggelar eksibisi Perahu Naga dan lomba dayung perahu yang disebut Lomba Biduak.

Tujuan Utama Wisata
Danau Maninjau telah menjadi salah satu objek pariwisata internasional. Jumlah wisman dari Eropa dan Amerika, ditambah dari Asia seperti Jepang, Australia, tahun demi tahun meningkat. Namun, hal itu terjadi sebelum Indonesia dilanda krisis berkepanjangan. Citra negatif akibat berbagai peristiwa yang menyangkut masalah keamanan—seperti tragedi Mei 1998 di Jakarta, bentrokan antaretnis di beberapa daerah—tak kunjung menghilang. Ini berpengaruh besar pada aspek pariwisata di Indonesia.

Wisman datang ke Sumatra Barat dari dua arah utama. Alternatif pertama dari Medan dengan pesawat terbang, yang kedua overland (jalan darat) dari Jakarta. Ada juga langsung dari Singapura atau Kuala Lumpur. Mereka menginap di kota sejuk Bukittinggi. Dari kota ini—yang mempunyai ciri khas jam gadang—wisman kemudian mengadakan perjalanan keliling ke objek wisata di seantero Provinsi Sumbar.

Danau Maninjau tentu menjadi tujuan wisata yang utama. Di sekitar danau, terdapat hotel untuk wisatawan. Belakangan, penduduk menyewakan juga rumahnya untuk tempat tinggal sementara para turis.
Bukittinggi dan danau berjarak tempuh mobil berkisar 40 menit. Perjalanan dari bandara Tabing di Padang ke Bukittinggi membutuhkan waktu dua jam dengan berkendara mobil. Dari danau menuju Puncak Lawang, akan melewati perjalanan dengan 44 belokan. Itu sebabnya rute ini dinamakan Kelok Ampek Puluh Ampek. Setiap kelokan memang patah. Dan setiap kelokan itu diberi nomor berurut, terpampang pada signboard di tiap sudutnya. Jarak tempuhnya kurang dari setengah jam.

Puncak Lawang Danau Maninjau Tak diragukan, kawasan itu menggoreskan kenangan indah bagi pengunjungnya. Para wisatawan biasanya tak hanya ingin menikmati keindahan alam, tetapi juga mengenal budaya masyarakatnya. Masyarakat Minang merupakan cerita menarik untuk didengar.

Adapun alam Danau Maninjau yang menakjubkan itu, kelilingnya berkisar 70 kilometer. Andaikan diolah, wilayah ini mampu memberikan berbagai aktivitas bagi peminat kegiatan di air. Tahun depan, ajang paralayang Danau Maninjau yang sudah terembrio sebagai peristiwa internasional akan diperluas lagi karena tanggal dan harinya telah diagendakan. Penting bagi wisman untuk mengetahui jadwal kegiatan di daerah wisata tujuan. Dengan begitu, mereka bisa mempersiapkan diri. Ah, andaikan tak ada SARS, tak ada invasi model Amerika ke Irak, tak ada citra keamanan yang buruk….kita boleh berharap pariwisata Indonesia bisa berkembang.

Penulis : Arifin Hutabarat
Sumber : Sinar Harapan


Wisata Jam Gadang

JAM GADANG


Jam Gadang adalah landmark kota Bukittinggi dan provinsi Sumatra Barat di Indonesia. Simbol khas Sumatera Barat ini pun memiliki cerita dan keunikan karena usianya yang sudah puluhan tahun. Jam Gadang dibangun pada tahun 1926 oleh arsitek Yazin dan Sutan Gigi Ameh. Peletakan batu pertama jam ini dilakukan putra pertama Rook Maker yang saat itu masih berumur 6 tahun. Jam ini merupakan hadiah dari Ratu Belanda kepada Controleur (Sekretaris Kota).
Simbol khas Bukittinggi dan Sumatera Barat ini memiliki cerita dan keunikan dalam perjalanan sejarahnya. Hal tersebut dapat ditelusuri dari ornamen pada Jam Gadang. Pada masa penjajahan Belanda, ornamen jam ini berbentuk bulat dan di atasnya berdiri patung ayam jantan. Namun saat Belanda kalah dan terjadi pergantian kolonialis di Indonesia kepada Jepang, bagian atas tersebut diganti dengan bentuk klenteng. Lebih jauh lagi ketika masa kemerdekaan, bagian atas klenteng diturunkan diganti gaya atap bagonjong rumah adat Minangkabau.
Dari menara Jam Gadang, para wisatawan bisa melihat panorama kota Bukittinggi yang terdiri dari bukit, lembah dan bangunan berjejer di tengah kota yang sayang untuk dilewatkan.
Saat dibangun biaya seluruhnya mencapai 3.000 Gulden dengan penyesuaian dan renovasi dari waktu ke waktu. Setiap hari ratusan warga berusaha di lokasi Jam Gadang. Ada yang menjadi fotografer amatiran, ada yang berjualan balon, bahkan mencari muatan oto (kendaraan umum) untuk dibawa ke lokasi wisata lainnya di Bukittinggi.
“Jam Gadang ini selalu membawa berkah buat kami yang tiap hari bekerja sebagai tukang foto dan penjual balon di sini. Itu sebabnya jam ini menjadi jam kebesaran warga Minang,” ujar Afrizal, salah seorang tukang potret amatir di sekitar Jam Gadang.
Untuk mencapai lokasi ini, para wisatawan dapat menggunakan jalur darat. Dari kota Padang ke Bukittinggi, perjalanan dapat ditempuh selama lebih kurang 2 jam perjalanan menggunakan angkutan umum. Setelah sampai di kota Bukittinggi, perjalanan bisa dilanjutkan dengan menggunakan angkutan kota ke lokasi Jam Gadang.
Lebih Jauh Tentang Jam Gadang
Angka-angka pada Jam Gadang banyak media mengatakan memiliki keunikan. Angka empat pada angka Romawi biasanya tertulis dengan IV, namun di Jam Gadang tertera dengan IIII.
Sepintas, mungkin tidak ada keanehan pada bangunan jam setinggi 26 meter tersebut. Apalagi jika diperhatikan bentuknya, karena Jam Gadang hanya berwujud bulat dengan diameter 80 sentimeter, di topang basement dasar seukuran 13 x 4 meter, ibarat sebuah tugu atau monumen. Oleh karena ukuran jam yang lain dari kebiasaan ini, maka sangat cocok dengan sebutan Jam Gadang yang berarti jam besar.
Bahkan tidak ada hal yang aneh ketika melihat angka Romawi di Jam Gadang. Tapi coba lebih teliti lagi pada angka Romawi keempat. Terlihat ada sesuatu yang tampaknya menyimpang dari pakem. Mestinya, menulis angka Romawi empat dengan simbol IV. Tapi di Jam Gadang malah dibuat menjadi angka satu yang berjajar empat buah (IIII). Penulisan yang diluar patron angka romawi tersebut hingga saat ini masih diliputi misteri.
Tapi uniknya, keganjilan pada penulisan angka tersebut malah membuat Jam Gadang menjadi lebih “menantang” dan menggugah tanda tanya setiap orang yang (kebetulan) mengetahuinya dan memperhatikannya. Bahkan uniknya lagi, kadang muncul pertanyaan apakah ini sebuah patron lama dan kuno atau kesalahan serta atau atau yang lainnya.
Dari beragam informasi ditengah masyarakat, angka empat aneh tersebut ada yang mengartikan sebagai penunjuk jumlah korban yang menjadi tumbal ketika pembangunan. Atau ada pula yang mengartikan, empat orang tukang pekerja bangunan pembuatan Jam Gadang meninggal setelah jam tersebut selesai.
Jika dikaji apabila terdapat kesalahan membuat angka IV, tentu masih ada kemungkinan dari deretan daftar misteri. Tapi setidaknya hal ini tampaknya perlu dikesampingkan.
Namun yang patut diketahui lagi, mesin Jam Gadang diyakini juga hanya ada dua di dunia. Kembarannya tentu saja yang saat ini terpasang di Big Ben, Inggris. Mesin yang bekerja secara manual tersebut oleh pembuatnya, Forman (seorang bangsawan terkenal) diberi nama Brixlion.
Jam Gadang ini peletakan batu pertamanya dilakukan oleh seorang anak berusia enam tahun, putra pertama Rook Maker yang menjabat controleur Belanda di Bukittinggi ketika
Angka IIII bukanlah sebuah keanehan
Keberadaan angka IIII bukan hanya terdapat di Jam Gadang saja, berikut gambar jam yang memiliki angka IIII bukan IV.

Berdasarkan Wikipedia, sejarah penulisan angka IIII tersebut berdasarkan kepada King Louis XIV (5 September 1638 – 1 September 1715) yang meminta kepada seorang untuk membuat sebuah jam baginya. Pembuat jam memberi nomor pada setiap jam sesuai dengan aturan angka Romawi. Setelah melihat jam yang diberikan kepadanya, Raja tidak setuju dengan penulisan IV sebagai angka “4” dengan alasan ketidakseimbangan visual.
Menurutnya, angka VIII ada di seberang angka IV. Jika ditulis IV, maka ada ketidakseimbangan secara visual dengan VIII yang lebih berat. Oleh karena itu, Louis XIV meminta agar diubah IV menjadi IIII sehingga lebih seimbang dengan VIII yang ada di seberangnya. Selain itu, jika dikaitkan dengan angka XII, maka keseimbangan itu akan lebih baik.
Akan tetap yang menjadi pertanyaannya mengapa Raja yang memerintahkan perubahan itu lebih dikenal dengan Louis XIV daripada Louis XIIII, sesuai dengan permintaannya kepada pembuat jam.
Dari sebuah situs lain… yang berjudulkan “FAQ: Roman IIII vs. IV on Clock Dials” dapat dilihat disana, Seorang yang bernama Milham mengatakan bahwa penjelasan seperti di atas tidak sepenuhnya benar. Menurutnya, penulisan IIII untuk angka “4” telah ada jauh sebelum Louis XIV. Dari wikipedia bahwa penomoran Romawi memang bervariasi dari awalnya. Pada masa awal angka “4” memang ditulis IIII dengan empat huruf I.
Penulisan “4” menjadi IV hanya terjadi di masa modern, yang menunjukkan bahwa “empat adalah kurang satu dari lima”. Manuskrip Forme of Cury (1390) menggunakan IX untuk “9” namun IIII untuk “4”. Sedangkan dokumen lain dari manuskrip yang sama di tahun 1380 menggunakan IX dan IV untuk “9” dan “4”, berturut-turut.
Lebih lanjut, ada manuskrip ketiga yang menggunakan IX untuk “9” dan campuran antara IIII dan IV untuk “4”. Angka “5” juga ditemukan disimbolkan dengan IIIII, IIX untuk “8” dan VV, bukannya X, untuk “10”.
Kesaksian lain dari situs tersebut, Franks, menyatakan bahwa ia tidak pernah melihat jam matahari yang dibuat sebelum abad ke-19 yang menggunakan angka IV, semuanya IIII. Sehingga, para ahli jam heran dengan arsitek masa ini yang membuat jam menara besar-besar menulis “4” dengan IV, bukan IIII. Salah satu yang menggunakan IV, bukan IIII, adalah Big Ben. Jadi, implisit dikatakan bahwa Big Ben telah melanggar konvensi per-jam-an!
Penjelasan lain cukup menarik. Harvey, di situs yang sama, mengatakan bahwa IV adalah singkatan dari dewa Romawi, Jupiter, yang ditulis IVPPITER. Jadi, jika IV diletakkan di dalam jam bangsa Romawi, maka jam itu akan bertuliskan 1, 2, 3, DEWA, 5…
Jika dilihat dari kacamata bangsa Romawi, mungkin mereka tidak ingin nama tuhan mereka ditaruh di jam seperti itu. Namun, kalau dilihat dari kacamata Louis XIV , maka mungkin ia tidak ingin ada nama dewa pagan di permukaan jam. Mana yang benar ? kita tidak tahu.
Masih di situs yang sama, menurut Mialki, alasan penggunaan IIII bukan IV semata-mata masalah teknis. Jika IV yang digunakan, maka pandai besi harus membuat huruf I sebanyak 16 batang, huruf  X sebanyak 4 batang, dan V sebanyak 5 batang. Masalahnya, pada masa itu, pandai besi hanya bisa ekonomis kalau membuat besi dalam kelipatan empat. Jika ditulis IV untuk “4”, maka akan ada satu 3 batang huruf V yang terbuang. Sementara itu, jika “4” ditulis IIII, maka huruf V hanya dibuat empat batang–dengan demikian ekonomis–dan huruf I sebanyak 20 batang–juga ekonomis.
Sekali lagi, mana yang benar dari penjelasan ini ? Belum ada yang pasti. Namun, satu yang kita tahu sekarang adalah bahwa angka IIII di Jam Gadang bukanlah sesuatu yang unik, aneh atau dianggap sebagai misteri yang dikait-kaitkan dengan takhayul. Justru dengan angka IIII itulah menjadikan sebuah bukti bahwa bangsa Eropa (Belanda) memang menjajah kita dulu dan tidak memberi kita barang yang jelek, justru yang bagus yang masih dipergunakan dan dibanggakan hingga sekarang.
Disadur dari berbagai sumber


Jembatan Limpapeh

Jembatan Limpapeh, Jembatan nan Anggun dari Bukit Tinggi
Ada yang unik saat melintas di Jalan Ahmad Yani, Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Di kawasan yang akrab dengan sebutan Kampung Cino ini terdapat jembatan sepanjang 90 meter dengan lebar 3,8 meter menjuntai. Masyarakat Kampung Cino kerap menyebutnya dengan sebutan Jembatan Limpapeh, jembatan yang menjadi ikon kebanggaan Kota Bukit Tinggi selain Jam Gadang.

Jembatan Limpapeh dibangun tahun 1995 dengan warna kuning dan merah yang terlihat dominan sebagai hiasannya. Terbuat dari baja, jembatan ini menghubungkan Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan dengan Benteng Fort de Kock.
Sekilas, Jembatan Limpapeh terlihat tidak begitu menarik jika dilihat dari bawah, namun saat mencoba untuk menyeberang dengan menggunakan jembatan, terasa getaran dan goyangan yang justru memancing adrenalin.

Pada bagian tengah jembatan, terdapat desain rumah tradisional Minangkabau dilengkapi dengan gonjong dibagian ujungnya. Ukiran khas ranah minang juga terlihat jelas saat menapaki kaki di jembatan yang menggunakan kayu sebagai landasan.

Selain itu, yang menarik dari Jembatan Limpapeh adalah, dari jembatan ini para wisatawan dapat melihat pemandangan indah Kota Bukit Tinggi yang dikelilingi perbukitan dan Gunung Marapi. [Riky/IndonesiaKaya]


Wisata Pagaruyuang Sumbar

 Wisata sejarah istana pagaruyung - Istano Basa Pagaruyung




Pagaruyung adalah nagari yang terletak di dekat Batusangkar, ibu kota kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Dari sumber tambo, nagari ini dulunya adalah merupakan ibu kota dari kerajaan Pagaruyung.

Sejak tahun 2001 Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Datar telah memulai untuk melakukan pemindahan secara bertahap pusat pemerintahan dari Batusangkar ke Pagaruyung. Dimana program ini dimulai dengan mendirikan kantor Bupati di kawasan nagari ini.

Istano Basa yang lebih terkenal dengan nama Istana Pagaruyung, adalah sebuah istana yang terletak di kecamatan Tanjung Emas, kota Batusangkar, kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Istana ini merupakan obyek wisata budaya yang terkenal di Sumatera Barat.

Istano Basa yang berdiri sekarang sebenarnya adalah replika dari yang asli. Istano Basa asli terletak di atas bukit Batu Patah dan terbakar habis pada sebuah kerusuhan berdarah pada tahun 1804. Istana tersebut kemudian didirikan kembali namun kembali terbakar tahun 1966.

Proses pembangunan kembali Istano Basa dilakukan dengan peletakan tunggak tuo (tiang utama) pada 27 Desember 1976 oleh Gubernur Sumatera Barat waktu itu, Harun Zain. Bangunan baru ini tidak didirikan di tapak istana lama, tetapi di lokasi baru di sebelah selatannya. Pada akhir 1970-an, istana ini telah bisa dikunjungi oleh umum.

Pada tanggal 27 Februari 2007, Istano Basa mengalami kebakaran hebat akibat petir yang menyambar di puncak istana. Akibatnya, bangunan tiga tingkat ini hangus terbakar. Ikut terbakar juga sebagian dokumen, serta kain-kain hiasan.. Diperkirakan hanya sekitar 15 persen barang-barang berharga yang selamat. Barang-barang yang lolos dari kebakaran tersebut sekarang disimpan di Balai Benda Purbakala Kabupaten Tanah Datar. Harta pusaka Kerajaan Pagaruyung sendiri disimpan di Istano Silinduang Bulan, 2 kilometer dari Istano Basa.

Sementara itu, biaya pendirian kembali istana ini diperkirakan lebih dari Rp 20 miliar     
 Istano Basa Pagaruyung yang dibangun kembali tahun 1976 merupakan duplikat bangunan Istano Rajo Alam Minangkabau yang dibakar Belanda tahun  1804. Bangunan ini terdiri dari 11 gonjong, 72 tonggak dan 3 lantai.  Objek wisata ini dilengkapi dengan surau, tabuah  Rangkiang Patah Sambilan,  serta fisik bangunan Istano Basa Pagaruyung dilengkapi dengan beragam ukiran yang tiap-tiap bentuk dan warna ukiran  mempunyai falsafah, sejarah dan budaya Minangkabau.
Terletak di Nagari Pagaruyung Kecamatan Tanjung Emas  yang merupakan pusat Perintahan Kabupaten Tanah Datar,  + 5 km dari kota Batusangkar dan mudah dijangkau oleh sarana transportasi roda 2 dan roda 4

Pesona plus dari Istana Pagaruyung:
1.      Terletak di Nagari Pagaruyung Kecamatan Tanjung Emas, sekitar 106 km dari Ibukota Provinsi Sumatera Barat,   5 km dari Kota Batusangkar dan mudah dijangkau dengan sarana transportasi roda 2 dan roda 4.

2.      Objek wisata ini merupakan objek wisata primadona Kabupaten Tanah Datar. Istano Basa Pagaruyung dibangun tahun 1976 dan merupakan duplikat bangunan Rajo Alam yang dibakar Belanda pada tahun 1804. Bangunan ini terdiri dari 11 gonjong, 72 tonggak dan 3 lantai, objek wisata ini dilengkapi dengan surau, tabuah, rangkiang patah 9. Istano Basa Pagaruyung dilengkapi dengan beragam ukiran yang tiap-tiap bentuk dan warna ukiran mempunyai falsafah sejarah dan budaya Minangkabau

3.      Istano Basa Pagaruyung yang terbakar akibat sambaran petir pada Hari Selasa,  27 Februari 2007   pukul 19.10 WIB lalu, dibangun kembali tetapi bangunannya belum rampung.
Istano Basa Pagaruyung Terletak di Nagari Pagaruyung, Kecamatan Tanjung Emas Kabupaten Tanah Datar yang berjarak 5 kilometer dari Kota Batusangkar.
Objek wisata ini mudah dijangkau oleh sarana transportasi baik roda 2 maupun roda 4 serta kendaraan tradisional Bendi yang ada di kota Batusangkar. Berikut adalah beberapa jalur menuju Istano Basa Pagaruyung serta jaraknya:
1.      Kota Padang via Kubu Kerambil = 105 km
2.      Dari Bukittinggi via Pintu Gerbang Simpang Baso = 35 km
3.      Melalui Pintu Gerbang Simpang Piladang berbatasan dengan wilayah Kabupaten 50 kota berjarak 45 km
Istano Basa Pagaruyung adalah nama tempat tinggal keluarga kerajaan Minangkabau yang sekaligus menjadi Pusat Kerajaan Minangkabau pada masanya. Konstruksi bangunannya berbeda dengan rumah tempat tinggal rakyat biasa.
Dimasa kerajaan Minangkabau Istana Basa Pagaruyung memainkan peran ganda; sebagai rumah tempat tinggal keluarga kerajaan dan sebagai Pusat Pemerintahan Kerajaan Minangkabau yang dipimpin oleh seorang raja yang dikenal dengan “RAJO ALAM” atau “RAJA DIRAJA KERAJAAN MINANGKABAU”
Kepemimpinan Rajo Alam dikenal dengan “Tali Tigo Sapilin” dan Pemerintahannya dikenal dengan “ Tungku Tigo Sajarangan”.
“ Istano Basa” berarti istana yang besar atau agung. Istana Raja Alam ini terus menggali beberapa modifikasi dimana istana yang pertama berada di Puncak Bukit Batu Patah (Bukit yang berada dibelakang bangunan istana yang sekarang) kemudian pindah ke Ranah Tanjung Bungo Pagaruyung dan terakhir di Gudam.
Istano Basa Pagaruyung yang ada sekarang merupakan duplikat dari Istano yang dibakar oleh Belanda pada tahun 1804. Istano basa Pagaruyung dibangun kembali pada tahun 1976 atas pemikiran pemerintah dalam rangka melestarikan nilai – nilai adat, seni dan budaya serta sejarah Minangkabau.

Istano Basa yang merupakan Objek Wisata Primadona di Kabupaten Tanah Datar khususnya, Sumatera Barat pada umumnya terdiri dari 3 (tiga) lantai, 72 tonggak serta 11 gonjong. Arsitektur bangunan ini memperlihatkan ciri khas tersendiri dibandingkan dengan Rumah Gadang lainnya yang terdapat di Minangkabau dimana bentuk fisiknya dilengkapi ukiran falsafah dan budaya Minangkabau. Selain itu, Istano Basa juga dilengkapi dengan Surau, tabuah larangan. Rangkiang Patah Sambilan, Tanjung Mamutuih dan Pincuran Tujuh.

Pada prinsipnya, Istano Basa Pagaruyung mempunyai 2 (dua) unsur yaitu:
1.      Unsur Utama
2.      Unsur Penunjang
1.      Unsur Utama Istano Basa Pagaruyung
1.      Batu Tapakan

Batu Tapakan terletak dibawah jenjang dan berfungsi sebagai tempat mencuci kaki sebelum naik keatas rumah (Istana). Disini juga disediakan sebuah “Guci” yaitu tempat air dan dilengkapi dengan gayung air (cibuak)

1.      Singasana (Pelaminan Bundo Kanduang)
Terletak di lantai satu sejajar dengan pintu masuk. Disini terpajang photo Raja Pagaruyung terakhir yaitu Sultan Alam Bagagarsyah. Singasana ini dilingkari dengan tirai yang terjuntai disisi kanan, kiri dan depan. Disinilan Bundo Kanduang duduk sambil melihat – lihat siapa yang datang atau yang belum datang apabila ada rapat dan mengatur 
segala sesuatu diatas rumah.
1.      Bilik (Kamar)
Bilik – bilik ini dihuni oleh putri – putri raja yang sudah menikah (berkeluarga). Bilik pertama atau yang paling kanan dihuni oleh putri raja yang sudah menikah dan seterusnya dihuni oleh adik – adik yang sudah menikah pula.
Istana Basa Pagaruyung mempunyai 9 ruang; satu ruangan digunakan sebagai tempat jalan kedapur yang disebut dengan ” Selasar”. 
Bilik pertama kita mulai dari kanan waktu anda masuk ke rumah (Istano). Sebelah kanan tersebut juga merupakan ” Pangkal Rumah” dan bilik terakhir yang berda disebelah kiri disebut juga ”Ujung Rumah”
1.      Anjunag Rajo Babandiang
Anjuang Rajo Babandiang berada dibagian kanan atau pangkal rumah (Istano) dan mempunyai 3 langgam (tingkat) yang berfungsi sebagai tempat sidang pada langgam pertama, tempat beristirahat pada langgam kedua dan tempat tidur raja pada langgam ketiga.
1.      Anjuang Perak
Anjuang Perak berada disebelah kiri atau ujung istana yang berfungsi sebagai tempat Bundo kanduang (Ibu Suri) mengadakan rapat yang bersifat kewanitaan pada langgam pertama, sebagai tempat beristirahat pada langgam kedua dan tempat tidur Ibu Suri pada langgam ketiga.
1.      Bandua Tangah
Bandua ini berada di depan bilik (kamar) Bandua yaitu bagian yang ditinggikan dari lantai yang berfungsi sebagai tempat keluarga/ kerabat dari pihak putri raja yang mendiami masing – masing bilik (kamar).
1.      Bandua Tapi
Berada di depan dari Bandua Tangah yang berfungsi sebagai tempat Cerdik Pandai dan Alim Ulama dalam rapat – rapat. Posisi duduk Ninik Mamak, Cerdik Pandai dan Alim Ulama membelakangi bilik (kamar).
1.      Tango
 Tango” sebutan lainnya dalah umbul –umbul yang bermacam warna yang terpajang pada sebuah peti bunian. Tango berfungsi sebagai tanda mata pelengkap atau cendera mata Raja kepada tamunya. Kalau dari unsur Ninik Mamak, Raja akan memberikan Tango yang berwarna hitam, dari unsur Alim Ulama akan mendapatkan warna Putih, dari unsur laskar akan mendapat warna kuning emas, dari raja kecil akan mendapat warna kuning muda, sedangkan dari unsur pejabat/ Sekretaris/ Pegawai akan mendapat warna ungu. 
Sedangkan Peti Bunian tersebut digunakan sebagai tempat senjata atau atribut para tamu.
1.      Anjuang Paranginan
Anjuang ini berada di lantai dua yang berfungsi sebagai tempat Putri Raja yang belum menikah (gadis pingitan) dan perlengkapannya.
1.      Mahligai
Mahligai berada di lantai tiga yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan alat – alat kebesaran Raja seperti Mahkota Kerajaan yang dahulunya disimpan dalam sebuah peti khusus yang dinamakan Aluang Bunian. Apabila ada acara tertentu alat – alat kebesaran tersebut dikeluarkan dari tempatnya (Aluang Bunian)
1.      Tanjuang mamutuih
Di lokasi ini terdapat sebuah pohon beringin yang dilingkari oleh batuan yang tersusun rapi. Lokasi ini berfungsi sebagaitempat bermain – main anak raja seperti main layang – layang.
1.      Pincuran Tujuh
Letaknya di belakang dapur yang merupakan tempat pemandian keluarga raja. Tapian tampek mandi atau pemandian ini mempunyai tujuh buah pincuran yang tebuat dari batang sampir dan dilengkapi dengan jamban tradisional

Unsur Penunjang Istano Basa Pagaruyung
1.    Dapur
Dapur mempunyai dua ruangan. Ruangan sebelah kanan berfungsi sebagai tempat memasak dengan perkakas atau alat – alat dapur yang serba tradisional. Ruangan sebelah kiri berfungsi sebagai tempat para dayang yangberjumlah dua belas orang.
1.      Surau
Surau terletak dibelakang Istano yang berfungsi sebagai tempat shalat, belajar mengaji (membaca Alqura’n) dan tempat tidur putra raja yang telah akil baliqh atau telah berumur 7 tahun keatas. Disamping mengaji, disinilah mereka dididik tentang Undang – Undang Adat, hukum syarak, sejarah, seni budaya dan bela diri.
1.      Rangkiang Patah Sembilan
Berda di pekarangan Istano yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan padi. Selain itu fungsi rangkiang di Sitanao adalah sebagai simbol kemakmuran dan kekuatan Alam Minangkabau
1.      Tabuah Larangan
Ada dua buah Tabuah Larangan di Istano. Tabuah pertama bernama Gaga Di Bumi yang dibunyikan apabila terdapat peristiwa yang besar seperti bencana alam, kebakaran, tanah longsor dsb. Tabuah kedua bernama Mambang Diawan yang dibunyikan untuk memanggil Basa Nan Ampek Balai ( Dewan Empat Menteri) yaitu Tuan Titah di Sungai Tarab, Tuan Kadi di Padang Ganting, Tuan Indomo di Saruaso, Tuan Mankudun di Sumanik, Tuan gadang di Batipuh serta Tigo Selo (Raja Alam, Raja Adat, Raja Ibadat) untuk mengadakan rapat.
1.      Taman Istano Basa
Taman Istano Basa mewakili dan melambangkan semua potensi dan fasilitas daerah dimana Minangkabau berada agar tampil blebih terkenal, lebih dihormati, lebih dikagumi, lebih cemerlang, lebih produktif, lebih potensial, lebih berarti dan lebih berdaya guna dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara karena potensi dan fasilitas memperindah Minangkabau dalam arti yang luas.


sumber : wikipedia dan wisatatanahdatar.blogspot.com